Ponpes Tahfidzul Qur'an Ma'unah Sari, Kediri


Kediri, salah satu kawasan di wilayah provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai salah satu tempat penggemblengan dan penggodokan kawah candradimuka, pencetak kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pesantren-pesantren besar di Kediri, baik yang berbasis salaf maupun modern. Dan di antara pesantren-pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari.

Sejarah berdirinya ‘Ma’unah Sari’
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari didirikan oleh KH. M. Mubasyir Mundzir atau yang masa mudanya lebih akrab disapa dengan ‘Gus Ib’ karena nama beliau yang asal adalah Ibnu Mundzir, putra KH. M. Imam Bachri, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Mangun Sari Nganjuk. Dan pondok pesantren ini berdiri pada tahun 1963 M.
Cikal bakal Pondok Pesantren Ma’unah Sari adalah sebuah bangunan masjid yang dibangun oleh Kiai Mundzir (Mbah Mundzir, pendiri PTQ Ma’unah Sari) yang hingga saat ini masih kokoh berdiri di tengah lokasi pondok.
Waktu itu Mbah Mundzir adalah seorang pengembara yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan di setiap tempat yang beliau singgahi dan beliau ditawari tempat tinggal untuk bermukim, pasti beliau menolaknya. Tapi baru di Bandar Kidul Kedirilah, yang kemudian menjadi tempat berdirinya PTQ Ma’unah Sari, Mbah Mundzir bersedia tinggal dan menetap, kerasan berada di sana.
Tapi waktu itu Mbah Mundzir lebih suka tinggal berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah warga lainnya -satu bentuk pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Mbah Mundzir- dan warga sekitar Bandar Kidul pun sangat senang menyambut kedatangan Mbah Mundzir, yang dulu dikenal sebagai ‘Gus Ib’ putra ulama’ ternama.
Namun dari beberapa warga, waktu itu rumah H. Qomari (warga sekitar yang dekat dengan Mbah Mundzir) lah yang paling sering beliau singgahi, sampai H. Qomari berinisiatif untuk menyekat sebagian rumahnya untuk Mbah Mundzir.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah H. Qomari, Mbah Mundzir pun sempat memberi isyarat dengan menudingkan telunjuknya ke arah lahan kosong di sebelaha utara rumah H. Qomari sambil berkata: Kang Qomari, ning kono mbesuk baklal dibangun masjid lan sebelah kono kae dadi pengimamane (Kang Qomari, di situ nanti akan dibangun masjid dan di sebelah sana pengimamannya). Dan benar, suatu hari beliau pun memutuskan untuk membangun masjid di lokasi itu setelah mendapat isyarah dalam mimpi Mbah Mundzir yang bertemu sang guru KH. Zainuddin (Guru Mbah MUndzir di pesantren Mojosari Nganjuk). Dalam mimpi itu KH. Zainuddin dawuh bahwa lahan itu sangat cocok dan baik untuk digunakan sebagai tempat mengaji.




Berevolusi Menjadi Pondok Al-Qur’an
Pesantren yang terletak di barat Masjid Agung Kota Kediri dengan dipisah  sungai Brantas ini pada awal berdirinya lebih mengkhusukan diri pada bidang tasawuf, terutama dalam mengistiqamahkan salat jamaah dan wirid serta dzikir. Adapun pengajian kitab-kitab salaf, Mbah Mundzir memilih untuk menyerahkannya kepada beberapa tenaga ahli yang berasal dari para santri yang sudah pernah mondok di pesantren lain yang berbasis kitab kuning.
Namun pada perkembangannya, pada tahun 1973 M, setelah beliau menikah, Pondok Pesantren Ma’unah Sari ini pun membuka pengajian Al-Qur’an bil ghoib (Hafalan Al-Qur’an). Hal ini karena istri Mbah Mundzir, Nyai Hj. Zuhriyyah adalah seorang hafidzah (Hafal Al-Qur’an), yang tak lain adalah putrid dari KH. M. Munawwir, Krapyak, perintis Pesantren Tahfidzul Qur’an di Indonesia yang juga seorang kampiun dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan seorang ahli qira’ah sab’ah.
Adapun nama ‘Ma’unah Sari’ sendiri diadopsi dari pondok pesantren yang didirikan oleh sang ayah, KH. M. Imam Bachri, di Nganjuk, PP. Mangun Sari’ dan juga pesantren rintisan KH. R. Fatah Tulungagung yang tak lain adalah santri sang ayah. Hal ini sebagai bentuk tafa’ulan (harapan memperoleh berkah) dari kedua pesantren tersebut. Hanya saja oleh Mbah Mundzir kata ‘Mangun’ diganti dengan kata ‘Ma’unah’ agar lebih kental kesan Arabnya.

Estafet Kepengasuhan ‘Ma’unah Sari’
Mendung duka menyelimuti langit Bandar Kidul Kediri, tepat pada 19 Januari 1989, KH. Mubasyir Mundzir pun menghadap keharibaan Allah SWT. Indonesia kehilangan figur seorang ulama ahli ibadah yang sangat besar dan agung karamahnya.
Sebelum kepergian Mbah Mundzir yang dikebumikan di sebelah pengimaman masjid pondok pesantren Bandar Kidul kota Kediri itu, beliau sempat menulis wasiat yang isinya adalah peralihan kepengasuhan PP. Ma’unah Sari.
Karena Mbah Mundzir dan Nyai Zuhriyyah tidak dikaruniai putra, maka Mbah Mundzir pun dengan disaksikan oleh ulama-ulama sepuh mengamanatkan PP. Ma’unah Sari kepada KH. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang kala itu akrab disapa Gus Hamid, yang tak lain adalah kemenakan Nyai Hj. Zuhriyyah, putra KH. R. Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak Nyai Hj. Zuhriyyah Munawwir.
Penyerahan estafet kepengasuhan ini kepada Gus Hamid tak lain karena Mbah Mundzir ingin agar kelak PP. Ma’unah Sari dapat menjadi salah satu pusat pengembangan tahfidzul Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dan KH. R. Abdul Hamid, yang adalah seorang hafidz (Hafal Al-Qur’an), ahli qira’ah sab’ah, yang sekaligus cucu KH. M. Munawwir Krapyak.
Hingga saat ini kepengasuhan PP. Ma’unah Sari dikendalikan oleh KH. R. Abdul Hamid, dengan terus mengembangkan sistem pendidikan terutama tahfidzul qur’an.
 
Program Pengajian Al-Qur’an dan Diniyyah
Program pengajian Al-Qur’an terbagi dua,  bil ghaib bagi santri-santri yang ingin menghafal Al-Qur’an, dengan sistem santri menyetorkan hafalan secara sorogan kepada seorang guru untuk disimak dan ditashih, jika lolos, baru melanjutkan setoran kepada pengasuh dalam hal ini KH. R. Abdul Hamid. Ada juga bin nadzar, sistemnya sama dengan bil ghaib.
Setelah selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an, ada jenjang berikutnya yaitu pengajian Qira’ah Sab’ah, dan ini disyaratkan para santri yang sudah hafal Al-Qur’an dan benar-benar lancar. Sebab dalam pengajian ini, santri akan mempelajari 7 macam bacaan yang berbeda-beda dari 7 imam ahli qurra’ yang sudah termasyhur itu.
Selanjutnya ada program Riyadlah. Peserta program ini diprioritaskan bagi mereka yang sudah selesai menghafal dan mengkhatamkan Al-Qur’an, tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang tidak menghafal atau bekum khatam untuk ikut. Program ini adalah dengan melakukan ritual mengkhatamkan Al-Qur’an sehari satu kali selama 41 hari. Dan program ini biasanya dilakukan secara periodic dan pada umumnya dimulai pada bulan Muharram.
Dan satu prinsip Mbah Mundzir yang harus dipegang oleh para santri yang menghafal Al-Qur’an, bahwa dalam menghafal Al-Qur’an itu harus lafdzan wa ma’nan wa ‘amalan. Jadi tidak sekadar hafal, tapi lebih pada penerapan kandungan Al-Qur’an itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.


 Sumber: Majalah Langitan/Adi Ahlu Dzikri/dari berbagai sumber

0 comments

Post a Comment