Profil Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan


Bagi para pecinta ulama dan habaib, tentu nama Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan tidaklah asing lagi. Sosok muda namun memiliki reputasi dakwah yang luar biasa. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyyah Ciledug ini telah mewarisi legenda sang datuknya, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, sebagai “Singa Podium” dari Betawi.

Dai pemilik wajah bersih dan salih ini memiliki tutur kata yang halus. Ceramahnya enak didengar dan mengalir penuh untaian mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Jika mendengarnya maka berat hati rasa meninggalkannya. Contohnya adalah saat Haul Masyayaikh ke-42 lalu, meskipun saat menyampaikan ceramah sedang hujan deras, namun hadirin masih setia di tempatnya, meski terkadang sebagian baju mereka terguyur air hujan.

Habib Jindan, dikenal juga sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal, terutama saat gurunya, Habib Umar bin Umar bin Hafidz mengadakan safari dakwah ke Indonesia. Beliau bisa menerjemahkan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ucapan gurunya.

Tetap mengaji meski dalam situasi perang
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil berada di lingkungan agamis. Awalnya beliau dididik oleh kedua orang dan beberapa ulama nusantara. Setelah mendapat tempat dari Ayahanda dan beberapa ulama serta habaib di tanah air, kemudian beliau mendapat kesempatan belajar di negeri para wali, Yaman. Ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri.

Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shadiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.

Beradaptasi dengan suasana dan ilklim baru, tentu membutuhkan proses tersendiri. Apalagi baru dua minggu di Hadhramaut, terjadilah perang saudara di Yaman. Namun hebatnya, sanga guru tetap mengajar murid-muridnya. Saat itu kondisi pengajian sangat susah. Persediaan makan yang minim dan situasi yang mencekam.

Tahun 1998, ia pulang ke Indonsia diantar sang guru bersama rombongan santri lainnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Sampai di tanah air, sang Ayahanda memerintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Selanjutnya, Ayahandanya dan para gurunya mendorongnya untuk berdakwah.

Ceramah di Langitan
Saat menjadi pembicara pada Haul Masyayaikh Langitan ke-42 lalu, Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan memakai busana khas orang Arab, bergamis dan bersurban putih. Ditambah lagi, kacamata yang melekat di kedua matanya.

Dalam taushiyahnya, beliau menyampaikan bahwa kesabaran merupakan sesuatu yang penting. Tidak terkecuali dalam masalah ilmu. Al-Habib Abdullah bin Abu Bakar dulu ketika mondok, membawa kasurnya sendiri. Kasur itu dilipat, karena selama di pondok beliau sibuk belajar dan muthala’ah sampai-sampai tertidur dalam keadaan duduk, lupa membuka kasurnya. Begitu terus sampai 4 tahun beliau pulang dari pondok kasurnya masih dalam keadaan terlipat.

Ilmu itu butuh kesabaran dalam memperolehnya. Sehingga andai ilmu bisa berkata maka dia akan bicara seperti ini, “Berikan dirimu sepenuhnya padaku (ilmu), maka mungkin aku (ilmu) akan memberikan sebagian kecil dariku untukmu”. Jadi, meskipun semua yang kita miliki, mulai dari harta, waktu, pikiran, masa muda dan semuanya, itu masih memungkinkan mendapat ilmu yang sedikit, nah apalagi kalau kita ogah-ogahan?. Tentu itu pengharapan yang jauh.

Selain kesabaran, akhlak juga sangat penting dalam mengamalkan ilmu. Setinggi apapun dan seluas apapun ilmu seseorang maka harus tetap merendahkan diri dihadapan gurunya. Kita bisa mencontoh Nabi Musa as. Meskipun beliau seorang Nabi, namun tidak besar diri ketika belajar kepada Nabi Khidhir. Dengan segala sopan santun beliau mengikuti pelajarannya. Meskipun pada akhirnya, terdapat perbedaan sudut pandang antara kedua mereka di kemudian hari.

Kemudian beliau bercerita, disebutkan dalam Shahih Bukhari. Di mana Nabi menceritakan, “Nanti akan ada pertempuran yang tak kunjung datang pertolongan. Kemudian pemimpin mereka bertanya, “Adakah di antara kalian seorang sahabat?.” Kemudian ada seorang sahabat, yang kemudian dijadikan sebagai tawasul. Diceritakan lagi pada periode setelahnya. Ada peperangan yang juga tak kunjung menang, pemimpin mereka bertanya, “Adakah di antara kalian yang pernah melihat sahabat?.” Kemudian ada satu orang yang pernah melihat sahabat yang kemudian dijadikan tawasul. Setelah itu diceritakan lagi pada periode berikutnya kejadian yang sama. Pemimpin mereka pun bertanya, “Apa ada di antara kalian yang pernah melihat tabi’in?.” Ada satu orang yang kemudian dijadikan sebagai tawasul. Ini menceritakan betapa bekas (atsar) orang-orang salih dapat menjadi lantaran (wasilah) doa. [Muhammad Hasyim dan Adi Ahlu Dzikri]


0 comments

Post a Comment