Nuansa Pesisir Pantai Sarang Rembang

Memang tak seindah pesisir pada umumnya yang beraromakan pepohonan tingi hijau dan berlatarkan pasir bersih yang menarik. Namun setidaknya pasisir di kecamatan Sarang sudah cukup menawan. Dentuman suara ombak, angin yang berhembus, dan tentunya keindahan panorama kala sang surya tenggelam cukup menarik untuk sekedar melepaskan penat.
Pemandangan sedikit aneh tampak di sekitar pesisir. banyak kambing dibiarkan terlepas di sekitar pesisir. Ada kambing yang bersimpuh menikmati hembusan angin, dan ada juga yang berkeliaran mencari makan. Lokasi yang sunyi dari rerumputan membuat kambing-kambing itu memakan sisa-sisa makanan di tempat sampah di area pesisir. Awalnya tempat ini adalah kandang kambing, namun para warga bekerjabakti untuk membangunnya, dan akhirnya kambing itu ditaruh di dalam rumah atau di biarkan berkeliaran di luar. Tutur sebagian warga.
Memang pada awalnya profesi penduduk sekitar pesisir adalah petani. Mereka adalah campuran dari  suku Jawa dan Madura yang telah merubah karakternya. Karena itu terdapat desa yang bernama Sarang Jawa dan Sarang Madura. Bajing Jawa, dan Bajing Madura. Di sini Bajing mempunyai arti daerah. Namun setelah terjadi perpindahan penduduk dari Sedayu Gresik yang lari dari colonial Belanda dan mereka mencari kehidupan sebagai nelayan, maka penduduk desa tertarik dan sekarang mayoritas adalah seorang nelayan.

Masjid Raudlotul Mallahin, Masjidnya Para Nelayan
Keindahan laut berhiaskan puluhan kapal berlayar menyisakan satu pertanyaan dalam hati. Di manakah pusat berkumpulnya kapal-kapal yang tampak kecil dari kejauhan itu. Terpikir, Tidak ada salahnya jika melangkahkan kaki untuk mencari sembari menikmati semilir angin laut yang berhembus.
Tak jauh melangkah, terlihat sebuah dermaga yang mengirimkan kapal para nelayan. Mendekati dermaga, banyak warga sekitar yang sedang memanggang ikan laut besar yang menggiurkan. Dari dermaga di desa Bajing Jowo inilah para nelayan pergi dan datang dengan membawa ikan hasil tangkapan mereka. Tidak mengherankan jika terlihat berton-ton ikan segar di lokasi tersebut.
Menariknya, di sebelah selatan tepat di desa bajing jowo Rt.02 Rw.01 terdapat masjid indah dengan arsitektur sederhana. Masjid berluaskan sekitar 420 persegi dan berlantaikan dua itu dibangun oleh para nelayan sekitar. Karenanya masjid itu diberi nama “Masjid Raudlatul Mallahin” yang berarti tamannya para nelayan. Masjid ini di bangun pada tahun 2006 yang di sediakan untuk para nelayan yang hendak melakukan sholat. “sebenarnya kami ingin membangun dan sebuah musholla, tapi masyarakat sepakat untuk membangun masjid di desa bajing jowo ini.” Tutur salah satu warga. Di samping itu, di masjid ini juga di selenggarakan pengajian rutinan dan peringatan-peringatan hari besar hari besar islam.
Masjid Raudlatul mallahin

Pribadi Masyarakat Dengan Banyaknya Pesantren
Mendengar kata”penduduk pesisir” tentunya asumsi kita adalah orang-orang yang suka emosi dan jauh dari norma agama. Kehidupan keras menjadi seorang nelayan yang setiap harinya merasakan sengatan matahari akan mengubah watak seseorang. Namun tidak untuk panduduk pesisir kecamatan Sarang. Penduduk desa Karangmangu, Bajing Jowo, dan Bajing Meduro yang mayoritas profesinya nelayan adalah penduduk yang suka memakai sarung dan berpeci. Nuansa keagamaan terlihat pada mereka.
Hal ini tidak mengherankan, pasalnya jika kita mau berpaling sekitar 20  meter ke arah selatan, kita akan menemukan banyak bangunan megah beralmamater lembaga pesantren. hampir puluhan pesantren putra-putri terbangun di tiga desa kecil itu.  Dari pesantren salaf hingga yang modern terdapat di sana. Ada pondok pesantren al-Anwar yang di asuh ulama kharismatik KH. Maimoen Zubair. PP.Daarus Shohihain di asuh KH. moh Najih Maimoen. Anwar dua diasuh KH. Abdullah Ubab Maimoen, putra pertama dari istri pertama beliau. Anwar tiga yang terletak di sebelah kiri jalan raya diasuh KH. Abdul Ghofur putra kedua dari istri kedua. Kemudian pondok pesantren Ma’had Ilmi as-Syar’I(MIS) yang diasuh  KH. M. Roghib Mabrur, Ma’had Ulum as-Syar;iyyah(MUS) diasuh oleh KH. Said Abdorrochim, juga pondok pesantren lainnya dengan label lembaga yang berbeda, seperti pondok pesantren Nurul Anwar di desa Bajing Jowo. Pondok Mahjar al-Amin, Ma’had Dini al-Hidayah yang terdapat program kejar paket setara smp. PP. al-Ghozaliyyah khusus santri putri, dan pondok lainnya.
Stabilitas ekonomi masyarakat sekitar pesantren adalah mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan. tak heran jika sarang disebut dengan kota ikan, namun di sisi lain, banyaknya pesantren yang berdiri dengan ribuan santri yang bermukim juga memberi label kota itu sebagai kota santri. Kehidupan santri yang bercampur dengan masyarakat sekitar, membuat kita tidak bisa membedakan antara keduanya.
Bisa dikatakan statistik keagamaan penduduk 99 persen berbudi agama Dan taat beribadah. pengajian rutinan yang diselenggarakan pihak pesantren mereka ikuti dengan antusias yang tinggi. Seperti halnya di al-Anwar, Syeikhina Maimoen Zubair mengadakan ngaji mingguan tafsir yang dilaksanakan di mushola. Setiap hari rabu wage di pesantren MUS juga diadakan pengajian umum. Juga pengajian-pengajian rutin yang diadakan masyayekh pesantren masjid dan mushola masyarakat.
Masyarakat juga mempunyai hubungan baik dengan masyayekh dan pihak pondok, mereka turut serta dalam keamanan dan perkembangan pesantren.
Awal mula berdirinya banyak pesantren
 Awal pondok pesantren yang berdiri di sarang adalah pesantren di desa Balitung yang terletak sekitar 3,5 km di sebelah barat Sarang. Kala itu pengasuhnya adalah  kyai mursyidin yang pernah menulis Tafsir Jalalain.
Seiring berjalannya zaman, lahirlah seorang yang membawa angin segar bagi Sarang, ia adalah Saliyo bin Lanah(KH.Ghozali). beliau seorang alim yang gemar memperkenalkan masyarakat kepada islam. Beliau mendapat wakaf tanah dari camat sarang sebagai bentuk syukur atas pengajaran agama kepada santri-santri. Di bawah asuhannya pesantren berkembang dengan pesat. Beliau wafat tahun 1856 M.
Kepemimpinan pondok pesantren kemudian di teruskan oleh menantu beliau, KH. Umar bin Harun(1880M)  dan kemudian putra beliau KH. Fathurrahman(1926M). Setelah wafat, kepemimpinan diteruskan kyai Syua’ib(menantu kh.imam ghozali) dengan dibantu putra-putranya sampai tahun 1928M. selepasnya pondok sarang terbagi menjadi dua, Ma’had ‘Ilmi as-Syar’i(MIS) yang diasuh oleh KH.Imam Kholil. Dan disusul berdirinya banyak pesantren yang lainnya, PP. Mansyaulhuda(PMH). PP.al-Amin. dan pondok pesantren al-Anwar, dan seterusnya semakin banyak pesantren yang terbangun
Sumber: Majalah Langitan/Muslimin Syairozi

0 comments

Post a Comment