Sejarah Resolusi Jihad dalam Pertempuran 10 November

Peristiwa 10 November 1945 merupakan salah satu tonggak sejarah yang penting di awal berdirinya Republik Indonesia. Saat itu kita dapat melihat semangat nasionalisme menyatu dalam paradigma agama. Nasionalisme adalah kewajiban yang harus ditunaikan dengan taruhan nyawa. Telah menjadi bulat dalam tekad umat Islam saat itu: merdeka atau tiada. Tidak ada pilihan yang ketiga dan keempat.
Seruan jihad dikumandangkan. Konsekuensinya, ribuan nyawa melayang dari tubuh-tubuh yang diterpa hujan peluru, bersama deru suara takbir yang bergema bersahutan. Peristiwa itu memang sudah lebih setengah abad berlalu. Tapi kita tahu, mereka semua yang gugur disana, berharap semangat nasionalisme tidak pudar selamanya.
Pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada September 1945 dibawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison dengan kekuatan 3 divisi. Antara lain Divisi Mayor Jenderal Hawthorn menguasai Jawa Barat, Divisi Mayor Jenderal Mansergh menguasai Jawa Timur dan Divisi Mayor Jenderal Chambers menguasai Sumatera.
Adapun Brigadir Jendera; A.W.S.Mallaby yang mendarat di Surabaya merupakan bagian pimpinan Mayor Jenderal D.C Hawthorn. Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby.
Surabaya merupakan kota Industri terbesar saat itu. Kota pelabuhan tersebut merupakan pusat pergerakan dan berkumpulnya santri Nahdlatul Ulama (NU). Di kota ini juga, para pemuda pesantren yang dekat dengan para kiai membentuk perkumpulan yang bernama Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri, organisasi para pemuda pesantren ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam pasukan Hizbullah di bawah komando para kiai yang berada di garda depan perjuangan.
Saat mendengar rencana kedatangan Belanda dan sekutu dengan persenjataan modern, para pemuda Surabaya dari berbagai organisasi yang sebelumnya terpencar kemudian bersatu. Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl Tunjungan 65 Surabaya. Sedangkan rombongan Palang Merah Internasional (Intercross) di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Internees).
Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr W.V.Ch Ploegman pada sore hari (18 September 1945, pukul 21.00), mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya (19 September 1945) ketika arek Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya.
Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jalan Tunjungan dibanjiri oleh massa rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.
Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Belanda Triwarna segera diturunkan.
Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, “Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui.” Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.
Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka Hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek yang biru, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik “Merdeka” berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.
Para pemuda pemberani itu, sayangnya, tidak banyak yang mengulas latar belakangnya. Sejarah seperti diatur sedemikian rupa untuk menutupi fakta bahwa pemuda pemberani yang merobek bendera Belanda di Hotel Yamato adalah kader Ansor. Bersama para pemuda lainnya, mereka tergerak rasa nasionalismenya untuk berjihad melawan kaum penjajah merespon Resolusi Jihad yang sepekan sebelumnya dicanangkan Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
K.H Hasyim Asyari
Mendekati kedatangan Sekutu dan Belanda di Surabaya, Presiden Soekarno menemui K.H Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Kedua pemimpin tersebut membahas situasi politik terkait kedatangan Pasukan Sekutu di bawah Komando Inggris.
“Dospundi Kiai, Inggris sampun celak” tanya Soekarno.
“Umat Islam jihad fisabilillah untuk NKRI, ini Perintah Perang!,” tegas Kiai Hasyim.
Hasyim Asyari kemudian memanggil KH. Abdul Wahab Chasbullah (Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syamsuri (Denanyar, Jombang) dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura. Para pemuka agama ini berkumpul di Surabaya untuk segera mengadakan rapat darurat, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah.
Pada 23 Oktober, Hasyim Asyari mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah. Mereka tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada kondisi ini pesantren-pesantren didatangi para pejuang dari berbagai kalangan untuk meminta kesaktian para kiai guna menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan persenjataan beratnya. Ribuan kiai dan santri dari Jawa dan Madura mulai bergerak ke Surabaya.
Soekarno menemui Kiai Hasyim Asyari karena pengaruhnya yang sangat besar di kalangan umat Islam. Selain itu, pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang terbentuk saat itu semua komandan batalyonnya adalah ulama. Diantaranya Panglima Divisi Suropati yaitu Kiai Imam Sujai, Divisi Ranggalawe Panglimanya Jatikusumo, di Jawa Barat komandan resimennya Kiai Haji Noor Ali. Langkah Soekarno menemui Kiai Hasyim Asyari tepat, karena mampu menggerakkan umat Islam saat itu. Dampak perangnya pun luar biasa, pertempuran Surabaya bagaikan neraka bagi pasukan Sekutu. Orang bisa mati-matian berperang karena perintah jihad tersebut. Sehingga, peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan tidak bisa dilepaskan dari Resolusi Jihad NU. Sejarah, meski banyak pihak terus mencoba menyamarkan peran kiai, santri dan pesantren, tak bisa menutupi fakta tersebut.
Resolusi Jihad
Seruan jihad melawan sekutu yang dikeluarkan Hasyim Asyari dikenal sebagai Resolusi Jihad. Yaitu perintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali. Seruan ini disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Maka meletuslah peristiwa 10 November 1945.
Para kiai dan pendekar membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Masjkur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin dipimpin oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. Disamping itu, Kiai Hasyim Asyari meminta Bung Tomo supaya teriak takbir “Allahu Akbar” untuk menggelorakan semangat perang para pemuda. Jasa utama Bung Tomo saat itu adalah sebagai orator perang melalui radio.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad. Pertama, setiap muslim baik tua dan muda, miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya untuk mundur. Berikut ini kutipan Resolusi Jihad tersebut:
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan;
RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong;
Musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu;
Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan
Perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut.
Pidato Bung Tomo
Fatwa jihad tersebut kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio untuk membakar semangat ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah segera menuju Surabaya. Fatwa Kiai Hasyim Asyari yang ditulis 17 September 1945 kemudian dijadikan keputusan NU pada 22 November dan diperkuat pada Muktamar ke-16 NU di Purwokerto, 26-29 Maret 1946. Dalam pidatonya, Hadlratussyaikh menyatakan bahwa tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan, tegasnya. Atau dalam bahasa lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah.
Mallaby dan pasukannya berada dalam posisi sulit. Setiap gerakannya menjadi pusat perhatian warga yang tampak semakin gelisah. Awalnya, mereka disambut baik karena bertugas mengungsikan tentara Jepang. Namun keadaan berubah, ketika warga menyaksikan kotak senjata yang jatuh berantakan di rel kereta api berisi senjata. Pasukan sekutu sebelumnya mengaku bahwa kotak-kotak itu berisi bahan makanan. Pada 27 Oktober, ketika selebaran disebarkan dari udara berisi perintah agar rakyat Indonesia segera menyerahkan senjata apapun dalam tempo 48 jam segera memicu kemarahan.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu pemuda Indonesia yang terdiri dari para santri dan tentara. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghentikan pertempuran. Hawthorn meminta Soekarno untuk membujuk panglima-panglimanya di Surabaya. Terjepitnya pasukan sekutu itu digambarkan dalam buku “Donnison The Fighting Cock” sebagai narrowly escape complete destraction alias hampir musnah seluruhnya, kalau tidak dihentikan Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin.
AWS Mallaby
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pun akhirnya datang dari Jakarta untuk berunding dengan Mallaby. Pertempuran agak mereda. Namun tidak lama setelah rombongan Sukarno kembali ke Jakarta, pada 30 Oktober pukul 17.00, pertempuran kembali berlangsung. Tempat terakhir yang digempur adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah yang masih dikuasai Inggris. Mallaby menjadi sasaran utama. Dia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing oleh para pemuda yang tidak tahan lagi melihat penjajah kembali berkeliaran. Para pengawalnya lari tunggang langkang. Mallaby tewas.
Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando Mayjend E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel. Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito.
Dengan mesin pembunuhnya itu, Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk bertekuk lutut alias menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum merdeka. Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945 dengan korban yang tidak sedikit.. Semangat dan tekad untuk merdeka itu merupakan buah dari Resolusi Jihad NU yang digagas para ulama NU. Dampak perlawanan tersebut tidak pernah terpikir oleh Sekutu yang mengultimatum agar seluruh pemuda dan pasukan bersenjata bertekuk lutut. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Bambu Runcing
Perlawanan rakyat Indonesia berlangsung dalam 2 tahap. Pertama pengorbanan diri secara fanatik dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman. Kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mereka mempelajari buku-buku petunjuk militer Jepang. Pertempuran berlangsung dengan ganas selama tiga minggu. Akhir November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu.
Namun semangat perlawanan oleh para pejuang Indonesia yang masih hidup tak bisa dipadamkan. Para santri dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya. Mereka kemudian membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di barat hingga ke arah Sidoarjo di timur. Beberapa versi menyebut, korban dari RI mencapai 20 ribu bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa.
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, para kiai pesantren berada di medan pertempuran menghadapi tank, pesawat tempur, dan peluru-peluru mematikan. Di sudut pertempuran, salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq yang belakangan menjadi Presiden Republik Islam Pakistan tertegun melihat para kiai dan santri sedang bertakbir dan berdoa sambil mengacungkan senjata. Ia tidak tahan menyaksikannya kemudian menjauhi medan perang. Keputusan tersebut segera menyebabkan pasukan Inggris kocar-kacir. Sejak awal, sebagian besar pasukan Inggris merupakan serdadu India.
Semangat nasionalisme Indonesia yang semakin meningkat disertai tuntutan untuk tidak menindas perjuangan sesama bangsa Asia, telah muncul sehingga para serdadu India bertempur setengah hati. Selain itu, peringatan dari Gubernur Inggris di tanah jajahan India akan mengerahkan semakin banyak pasukan-pasukan India untuk menyerang Indonesia, sedangkan keadaan di India sendiri semakin gawat.
Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945, pemerintah Inggris mendesak Belanda mengambil sikap yang lebih luwes terhadap RI. Setahun kemudian, diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara RI dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani namun Belanda melanggar dengan melancarkan agresi militer. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan. Sejak itu, peran asing yang kemudian terlibat menggantikan Inggris adalah Amerika Serikat.

Sumber: Majalah LangitanM. Atho’illah & Abdullah Mufid M

0 comments

Post a Comment