Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah


Brabo, adalah sebuah desa yang terletak cukup jauh dari perkotaan, sekitar 45 km dari pusat kota Purwodadi atau 25 km dari Semarang. Meski demikian, Brabo memiliki sumbangsih yang amat besar bagi daerah sekitar khususnya bidang keislaman. Berdirinya Pesantren Sirojuth Tholibin hingga sekarang, dengan kolaborasi sistem salaf-khalaf (klasik-modern) ini menjadi bukti bahwa keberadaan pesantren berikut para alumnusnya dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.

Berdirinya Sirojuth Tholibin
Sang pendiri (muassis), Kiai Syamsuri Dahlan bukanlah penduduk asli desa Brabo. Beliau adalah menantu Kiai Syarqowi, guru yang sekaligus mertua yang menugaskannya di sana atas permintaan tokoh desa setempat. Harapannya, Syamsuri muda dapat membawa perubahan secara religius masyarakat yang lekat dengan kultur abangan.
Dengan kesabaran dan keuletan, Kiai Syamsuri melakukan dakwahnya dengan tingkah laku atau budi perkerti yang baik (dakwah bi al-haal) kepada masyarakat. Kemudian pada tahun 1941 M, Kiai Syamsuri mulai merintis pesantren yang kemudian dinamai Sirojuth Tholibin yang bermakna “Lentera bagi penuntut ilmu”.
Nama tersebut dimaksudkan agar para santri yang menuntut ilmu benar-benar memperoleh ilmu yang bermanfaat, yang bisa menerangi jalan kehidupan. Selain itu, nama ini sebagai bentuk tabarruk (ngalap berkah) kepada seorang alim allamah, Syaikh Muhammad Ihsan Jampes Kediri dan kitabnya Sirojuth Tholibin.

Periode Kepengasuhan
Kiai Syamsuri Dahlan mengasuh selama 47 tahun, kemudian estafet kepemimpinan pesantren dilanjutkan putra beliau Drs. KH. Ahmad Baidlowie Syamsuri, Lc. H (alumnus pesantren KH. Muslih Abdurrahman Mranggen, PP. Al Muayyad asuhan KH. Umar Abdul Mannan, Mangkuyudan, Solo dan alumnus Universitas Daarul Ulum bidang hadis di bawah asuhan langsung Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadany al-Makky, di samping juga pernah belajar pada Syaikh Muhammad bin Alwy al-Maliky al-Hasany).
Berbekal visi: Menyelenggarakan pendidikan dengan memadukan sistem salafi dan modern, Pondok Brabo berharap bisa mencetak kader yang berakhlak al-karimah, dan tangguh dalam menghadapi era global.
Dalam melakukan perjuangannya, KH. Baedlowie dibantu Ny. Hj. Maemunah serta dibantu sang putra KH. Muhammad Shofi al-Mubarok. Tentu saja, para dzurriyah serta para asatidz juga berperan penting dalam pengembangan pesantren.

Mimpi Gus Miek
Semula pesantren ini hanya khusus bagi santri putra saja, hingga pada tahun 1989, setelah kedatangan Ny. Hj. Maemunah Shofawie, mulai dibuka asrama santri putri.
Konon, sebelum KH. A. Baedlowi mendirikan pondok putri, beliau bersama sang istri bermimpi bertemu KH. Hamim Jazuli,  Ploso (Gus Miek) yang memerintahkan untuk membeli tanah di sebelah timur kediaman beliau. Anehnya, beliau mimpi bersama dalam satu malam. Atas dasar sam’an wa tha’atan, terbukti di kemudian hari tanah tersebut berdiri megah asrama pondok putri.
Berawal beberapa orang yang nyantri baik mukim maupun ngalong (santri nglaju) kepada Kiai Syamsuri, sekarang tercatat ada sekitar 1.500 santri putra-putri yang mukim di asrama pesantren.

Program Pendidikan
Meskipun terletak di daerah terpencil, Pondok Brabo tergolong pondok yang komplit. Progam pendidikan yang  disuguhkan Pondok Brabo ini juga cukup variatif.
Pertama, Tahaffudz alQur’an. Program ini dibagi menjadi tiga tahap: Hafalan juz ‘amma (semua santri), Bi an-Nadzar (semua santri) dan Bi al-Ghaib (bagi santri yang mengambil jurusan khusus penghafal al-Qur’an).
Kedua, Madrasah Salafiyyah (non formal). Disajikan bagi santri yang ingin berkonsentrasi khusus pada kajian kitab klasik yang lazim di kalangan pesantren Ahlus sunah wal jama’ah. Program ini secara aktual ditempuh selama enam tahun ajaran dengan materi ilmu tafsir, tafsir, ilmu hadis, hadis, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh, tasawuf, tajwid, dan lain sebagainya.
Ketiga, Madrasah Formal. Pendidikan formal yang terselenggara di lingkungan Ponpes. Sirojuth Tholibin adalah Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (sederajat dengan SMP dan SMA) di bawah naungan Yayasan Tajul Ulum dengan program jurusan Keagamaan, IPA, IPS, dan Bahasa. Bagi santri yang mengikuti pendidikan formal diharuskan mengikuti pembelajaran Madrasah Diniyah Awaliyah/Wustho pada sore hari atau di Madrasah Takhassus pada malam hari. Selain itu, juga diselenggalarakan program kejar paket B dan C bagi untuk santri dan masyarakat yang berminat.
Keempat, Non Madrasah. Meliputi: 

  1. Individual (sorogan) dengan materi pokok: Jurumiyah (matan, syarah), Fath al-Qarib (matan, syarah) dan Fath al-Mu’in. 
  2. Kolektif (bandongan) dengan materi kitab-kitab salaf di antaranya: Tafsir Jalain, Ihya’ Ulumuddin, Adab al-‘alim wa al-muta’alim dan beberapa kitab lainnya. 
  3. Komunal: Sima’at al-Qur’an, Pengajian selapanan Kamis Kliwon. 
  4. Temporal: Pengajian kilatan bulan Rajab, Pengajian kilatan Romadhan, dan seminar.
Selain itu, Pondok Brabo juga membekali santrinya dengan beberapa ekstrakurikuler sesuai tuntunan zaman, di antaranya; Jurnalistik, Rebana dan Hadrah, Tilawah al-Qur’an, Kewirausahaan, Bahtsul Masa’il, pertanian dan beberapa ekstra lainnya.
Sekali lagi, Brabo, sebuah desa semenjana namum memiliki potensi besar dalam mengawal sekaligus memperjuangkan syariat Islam di era sekarang ini, bak lentera yang tak kan pernah padam untuk menyinari dunia.
Sumber: Majalah Langitan / Shofa Ulul Azmi & Mundzir

1 comments: