Pondok Pesantren As’adiyah Sulawesi Selatan


Pondok Pesantren As’adiyah adalah sebuah lembaga pendidikan Islam swasta yang bergerak di bidang pendidikan dan da’wah Islam. Mulai dirintis pada tahun 1928 M., Lembaga ini menjadi pesantren tertua di Sulawesi Selatan. Pada mulanya, Lembaga ini bernama Madrasatul Arrabitatul Islamiyah (MAI) yang dirintis oleh Syekh Muhammad As’ad yang dikenal pula dengan panggilan Anregurutta Pungngaji Sade atau Gurutta Aji Sade. Penamaan As’adiyah juga diambil dari pendirinya (KH. As’ad) yang merupakan seorang berdarah Bugis Wajo.

Dalam perkembangannya, pondok ini telah banyak menciptakan generasi para ulama hingga Wajo kemudian digelari sebagai kota santri. Keberadaan Pondok Pesantren As’adiyah sebagai mesin pencetak para mubalig maupun ulama, sudahlah sangat dikenal dimasyarakat. Selain melahirkan ulama, juga banyak alumninya yang kini telah menjadi ilmuwan.


Sang Perintis

KH. As’ad lahir di kota suci Mekah pada hari Senin 12 Rabiul Awal 1236 H./1907 M. Ayahnya bernama Haji Abdul Rasyid bin Syekh Abdur Rahman yang bermukim di kota suci Mekah, dan ibunya bernama Siti Shalehah binti Haji Teru yang juga merupakan sepupu dari Syekh Abdur Rahman.


Sejak kecil beliau dididik oleh orang tuanya sendiri. Hingga pada umur 14 tahun beliau sudah menghafal Al-Qur’an 30 juz. Beliau sangat fasih dan lancar dalam menghafal al- Qur’an sampai diperkenankan untuk menjadi imam tarawih di Masjidil Haram selama 3 tahun berturut-turut. Yaitu pada tahun 1340 H s/d 1432 H. Padahal, waktu itu beliau masih berumur berumur 14-17 tahun. Beliau belajar kepada guru-guru yang ada disana dan menjadi orang besar serta diagungkan.

Pada usia 21 tahun, Kiai As’ad kemudian hijrah ke negeri nenek moyangnya yang ada di Sulawesi  Selatan. Hal ini disebabkan karena beliau mendengar khabar bahwa masyarakat disana masih minim dengan ilmu pengetahuan. Khabar itu beliau dapat dari orang-orang Indonesia yang datang ke tanah Haram baik itu ketika Haji atau pun yang lainnya.

Sejak tahun 1610 M. masyarakat Wajo sudah banyak yang telah memeluk agama Islam, namun sayangnya banyak banyak dari mereka yang ke luar dari ajaran aqidah Islam yang sebenarnya. Hal ini disebabkan kepercayaan mereka terhadap berhala-berhala, khufarat, takhyul, bid’ah, dan taklid yang menyesatkan mereka dari ajaran Islam yang sebenarnya. Pada waktu itu, masih ada kepercayaan akan roh dari nenek moyang yang dapat menjelma pada anak cucu yang diistilahkan dengan nama adongkokeng. Mereka juga suka memakai jimat atau batu akik yang dianggap dapat membawa nasib baik pada orang yang memakainya. Perjudian, perampokan dan lain sebagainya juga masih marak.



Perintisan Pesantren


Sebelum beliau mendirikan pesantren, hal pertama yang Kiai As’ad lakukan adalah berdakwah dengan ceramah dan pengajian serta pendekatan kepada masyarakat, tokoh, dan pemerintah. Setelah dirasa cukup, kemudian pada tahun 1347 H./1928 M. beliau mulai membuka pesantren. Awalnya, pengajaran dilakukan dirumah beliau. Ketika jumlah santri semakin banyak, akhirnya pengajaran dipindahkan ke mesjid Jami’ Sengkang setelah memperoleh izin pemerintah Wajo. Dengan modal serambi mesjid Jami’ yang ada, diadakan juga sekolah madrasah dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI).

Kegigihan beliau pun membuahkan hasil, masyarakat mulai banyak yang sudah mengenal Islam dan bisa masuk Islam secara kaffah (seutuhnya). Beliau membawa masyarakat pada cahaya Islam, hingga beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1372 H./29 Desember 1952 M. Akhirnya, para sesepuh MAI di Sengkang Kabupaten Wajo bersepakat untuk memanggil dua orang alumni yakni Anregurutta KH. Daud Isma’il dan Anregurutta KH. Muhammad Yunus Martan untuk melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh guru mereka.



Pencetak Mubaligh

Pada tahun 1973 kota Sengkang terbakar termasuk Sekolah Madrasah As’adiyah. Setelah itu, pondok pesantren As’adiyah pindah ke Jalan Veteran Sengkang, Kelurahan Lapongkoda, pada 1966 sampai sekarang. Saat ini, Pondok pesantren As’adiyah punya jenjang pendidikan formal untuk setiap tingkatan, mulai TK hingga perguruan tinggi. Bahkan, As’adiyah mengembangkan diri untuk penyebaran syiar islam diseluruh wilayah di Indonesia. Tercatat sudah memiliki sekitar 500 cabang yang tersebar disejumlah daerah lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, NTT hingga Papua.
Disetiap momentum bulan suci Ramadhan, As’adiyah selalu menyebar imam tarawih dan muballighnya yang  berasal dari berbagai tingkatan, mulai Tsanawiyah/sederajat SMP, Aliyah, Mahasiswa, Mahad Ali, bahkan alumni. Khusus untuk penghafal al-Qur’an, mereka di koordinir oleh pembina masing-masing di Masjid jami Sengkang. Jumlah yang tersebar tergantung permintaan. Tidak hanya di Wajo saja, tapi banyak dari luar provinsi.



Metode Unik

Ada yang unik dimiliki oleh Pondok Pesantren As’adiyah yang tidak dimiliki oleh pondok pesantren lain. Dalam proses belajar-mengajar, dipendidikan formal menggunakan kurikulum khusus. Namanya, pengajian halaqah yang dilakukan setelah shalat Magrib dan shalat Subuh, yang diajarkan dalam bahasa Bugis. Metode itu mulai diberlakukan sejak santri berada pada jenjang Tsanawiyah, Aliyah hingga Ma’had Aly.

Hingga sekarang, Pesantren As’adiyah sudah mempunyai dua kampus. Kampus pertama lokasinya di perkotaan yang menjadi pusat perdagangan. Sedangkan Kampus kedua berjarak sekitar 30 Km. ke utara kota Sengkang dan berdiri diatas lahan seluas 108 hektar.

Lembaga pendidikan ini telah memiliki kurikulum sendiri. Adapun kegiatannya meliputi, pengajian halaqah (seperti yang telah disebutkan) yang membahas kitab kuning di empat Masjid, yakni Masjid Agung Ummul Qura, Masjid Jami (kampus putri), Masjid al-Ikhlas Laponkoda (kampus putra lama), dan kampus II putra Macanang. Kegiatan juga meliputi Madrasah Diniyah Alawaliyah Nomor 1 dan 2, dan Ma’ha Aly As’adiyah (Semacam Pendidikan Kader Ulama).

Kegiatan ekstra kurikuler terhimpun dalam satu wadah Ikatan Pelajar As’adiyah (IPAS). Di situ santri dibagi sesuai dengan asal daerahnya. Sehingga ada IPMAS Sumatera, IPAS Kaltim, IPMAL Luwu, KEPMA Bone, ISPA Wajo dan sebagainya.

Disamping itu, lembaga ini juga telah menerbitkan Majalah dengan nama Risalah As’adiyah dan juga Radio Suara As’adiyah sebagai media Informasi dan penyebaran pengajian, bagi santri, alumni, dan masyarakat sekitar.


[Muhammad/Majalah Langitan]

0 comments

Post a Comment