Sejarah Hidup Prof. Dr. Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi


Abad kesebelas masehi, saat wilayah Islam telah menguasai banyak imperium dan komunitas, seperti: Persi, Romawi, daratan Eropa, dan berbagai suku di kawasan Asia. Umat muslim telah bersinggungan –jika tidak dikatakan berbenturan- dengan banyak budaya. Persinggungan itu telah memunculnya berbagai pemikiran yang tidak semuanya baik. Termasuk yang mencemaskan saat itu adalah masuknya pemikiran materialisme ke beberapa pemikiran ilmuwan muslim. Dan disatu sisi merebaknya aliran kebatinan tanpa landasan syariat yang kuat.
Kondisi inilah yang membuat resah hati seorang ilmuwan besar, al-Ghazali untuk ‘menundukkan’ kembali ilmu pengetahuan dan kehidupan beragama di bawah kendali nash-nash yang diajarkan Rasulullah. Atas jasa-jasa itulah salah seorang pemikir mengatakan, kebutuhan umat Islam atas al-Ghazali lebih penting daripada matahari. Jika matahari tidak terbit maka hanya kerusakan jasad, namun jika al-Ghazali tidak muncul maka akan rusaklah batin umat Islam.
Ada tiga hal di antara yang diperjuangkan al-Ghazali, yaitu: mengembalikan akal kepada agama, melakukan penyucian diri (shufi), dan menolak kebatilan kaum kebatinan. Ribuan bahkan jutaan ulama memuji karya-karya beliau, di antaranya yang fenomenal adalah Ihya Ulumiddin. Bahkan hingga kini, banyak karya-karya beliau dikaji di majelis-majelis ilmu – dan diperdebatkan di berbagai universitas- berbagai belahan dunia. Tidak salah kemudian, jika sang maestro itu dijuluki Sang Hujjatul Islam.
Kini, setelah sembilan ratus tahun lebih dari kewafatan beliau, di mana umat Islam telah berada dalam medan terbuka antara ‘perang’ dunia barat dan timur telah muncul berbagai penyimpangan dalam berpikir. Sebagian dari kita luruh dalam usaha merasionalkan agama yang terkadang kebablasan –yang melahirkan liberalisme serta materialisme- dan di satu sisi kita menyempitkan ajaran nabi –yang melahirkan fundamentalisme- sehingga jika tidak seperti suatu aliran tertentu maka dikafirkan.
Dua hal inilah yang kemudian membuat Syaikh Buthi tergerak hatinya untuk mengurai dua penyimangan pemikiran tersebut. Ajaran yang terlalu bebas menafsirkan kehidupan dan terlalu sempit memahami agama. Maka dua usaha besar beliau, yaitu: mengkritik penyimpanagan materealisme dan budaya takfiriyyah. Di sisi lain beliau adalah seorang yang dikenal sufi. Beberapa kesamaan itulah yang menjadikan Syaikh Buthi -seperti kata banyak tokoh- merupakan penjelmaan al-Ghazali.
Lahir dari keluarga religius
Syaik Buthi memiliki nama lengkap Muhammad Sa’id ibnu Mula Ramadhan ibnu Umar al-Buthi. Beliau lahir di Buthan (Turki) pada tahun 1929 M/ 1347 H, beliau lahir dari sebuah keluarga religius. Ayah beliau adalah Syekh Mula Ramadhan, seorang ulama besar di Turki. Usai peristiwa kudeta Kemal Attatruk, al-Buthi kecil dibawa ikut keluarganya pindah ke Syiria.
Al-Buthi kecil belajar agama pertama kali dari Ayah beliau sendiri, mulanya beliau diajarkan tentang Akidah, kemudian baru mempelajari sirah nabi, kemudian baru mempelajari ilmu alat, Nahwu dan Sharaf, dan beliau sanggup menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik, yaitu salah satu kitab tentang ilmu Nahwu yang berbentuk sya’ir, beliau mampu menghafal 1000 bait sya’ir kitab tersebut. Selain itu banyak kitab-kitab yang beliau hafal pada usia belia.
Pendidikan sang ayah sangat mem­be­kas dalam sisi kehidupan intelektual­nya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bu­kan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mula juga sosok ayah yang pe­nuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.
Ditopang pendidikan Sang Ayah
Dalam karyanya yang mengupas biografi kehidupan sang ayah, Al-Fiqh al-Kamilah li Hayah asy-Syaikh Mula Al-Buthi Min Wiladatihi Ila Wafatihi, Syaikh Al-Buthi mengurai awal perkembangan Syaikh Mula dari masa kanak-kanak hingga masa remaja saat turut berpe­rang dalam Perang Dunia Pertama. Ke­mudian menceritakan pernikahan ayah­nya, berangkat haji, hingga alasan ber­hijrah ke Damaskus, yang di kemudian hari menjadi awal kehidupan baru bagi keluarga asal Kurdi itu.
Masih dalam karyanya ini, Al-Buthi menceritakan kesibukan ayahnya dalam belajar dan mengajar, menjadi imam dan berdakwah, pola pendidikan yang dite­rapkannya bagi anak-anaknya, ibadah dan kezuhudannya, kecintaannya ke­pada orang-orang salih yang masih hidup maupun yang telah wafat, hubungan baik ayahnya dengan para ulama Da­maskus di masa itu, seperti Syaikh Abu Al-Khayr Al-Madani, Syaikh Badruddin Al-Hasani, Syaikh Ibrahim Al-Gha­layayni, Syaikh Hasan Jabnakah dan lainnya, yang menjadi mata rantai tabarruk bagi Al-Buthi. Begitu besarnya atsar (pengaruh) dan kecintaan sang ayah, hingga Al-Buthi begitu terpacu untuk menulis karyanya tersebut.
Doktor dengan predikat Mumtaz Syaf ‘Ula
Syaikh Buthi juga menempuh pendidikan di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus, di bawah bimbingan Al-‘allamah Syekh Hasan Habannakeh –rahimahullah. Dan di usia beliau yang belum melewati 17 tahun, beliau telah mampu naik mimbar menjadi khatib. beliau menyelesaikan pendidikannya di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus pada tahun 1953 M
Pada tahun tersebut al-Buthi menuju Kairo Mesir dan meneruskan studinya dengan spesialisasi ilmu Syariah hingga memperoleh Ijazah Licence. Pendidikan Diploma-nya (setingkat S2) ia ikuti di Fakultas Bahasa Arab. Pada tahun 1965, Sa’id Ramadhan menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar dengan predikat Mumtaz Syaf ‘Ula. Disertasi yang ia tulis dan berjudul “Dlawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’at al-Islamiyyah” mendapatkan rekomendasi Jami’ah al-Azhar sebagai “Karya Tulis yang Layak Dipublikasikan”.
Lantaran keluasan pengetahuannya, ia dipercaya untuk memimpin sebuah lembaga penelitian theologi dan agama-agama di universitas bergengsi di Timur Tengah. Aktivitasnya sangat padat. Ia aktif mengikuti berbagai seminar dan konfe­rensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Hingga saat ini ia masih menjabat salah seorang anggota di lembaga pene­li­tian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Pena­sihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.
Tokoh yang kontroversi
Syaikh Buthi termasuk orang yang berpendirian kuat. Apa yang diyakini benar maka akan dilakukan meski terkadang memantik pro-kontra. Salah satunya adalah tentang kedekatan dengan pihak pemerintah yang banyak mendapat catatan dari para ulama.
Tetapi beliau memiliki pandangan yang berbeda. Bahwa merubah keburukan pemerintah tidak harus dengan pertentangan tapi bisa juga dengan jalan nasihat. Usaha ini telah dilakukan oleh Syaikh Buthi semenjak Hafidz Asad.
Menurut Gus Taj Yasin Sarang, bahwa Syaikh Buthi terhitung berhasil mempengaruhi Hafidz. Bahkan Sang tangan besi itu telah meminta Syaikh Buthi untuk meleuangkan waktu khusus untuk menasihatinya. Bukti lain, Hafidz telah mengakui dihadapan Syaikh Buthi bahwa perilakunya selama ini, seperti melarang adzan dengan bahasa Arab, melarang perempuan memakai penutup, dan lain sebagainya adalah suatu kesalahan.
Pecahnya puncak gunung es
Begitu pula dengan pemerintahan Bashar Assad yang banyak mendapat dukungan dari Syaikh Buthi. Beberapa kebijakannya di ambil dari nasihat sang guru. Berkat nasihatnya, beberapa aktivis muslim yang dipenjara pemerintah dibebaskan. Di gratiskannya biaya listrik semua mejelis ilmu di wilayah Syiria. Dibukanya akses para relawan di Lebanon dan Palestina dari cengkraman Israel, dan lain sebagainya.
Syaikh Buthi melihat bahwa permasalahan di Syiria bukan hanya masalah aliran Sunni dan Syiah, tetapi lebih dari itu. Gus Taj Yasin menambahkan bahwa di Syiria terdapat kunci dari perseteruan lama ‘klan’ demokrasi yang dikepalai Amerika dan ‘klan’ komunis yang dikepalai rusia dan cina.
Syiria merupakan akses utama distribusi berbagai kepentingan dunia teluk kepada Amerika. Setiap barang-barang yang akan dikirim ke teluk, seperti Kuwait, Qatar, Oman, dan lain-lain jika lewat darat maka pasti melewati Syiria. Inilah yang membuat Amerika dan Eropa kawatir, jika Syiria tidak dapat ditaklukkan maka akan membahayakan stabilitas ekonomi dan keamanan Amerika-Teluk.
Sebagai bukti, saat terjadi kontak senjata antara pasukan Hizbullah dengan Israel dalam beberapa hari saja, maka kerugian tidak dapat didistribusikannya barang sangat banyak, bukan hanya milyaran tapi adalah trilyunan.
Maka menurut Gus Taj Yasin yakin bahwa krisis di Syiria bukan murni Sunni dan Syiah. Awalnya memang demikian, tetapi dalam perkembangannya, di Syiria kini telah menjadi medan perang pemerintah versus oposisi, Israil versus Syam (Libanon, Syiria, Yordania, dan Palestina), dan juga Amerika versus Rusia-Cina. Jadi, kini pecahlah puncak gunung es pertikaian itu.
Setelah dua tahun krisis Syiria, 120.000 nyawa melayang. Jutaan orang mengungsi. Fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya hancur. Siapakah kini yang disalahkan?
Kegigihan yang mengantarkan syahid
Karena kegigihan Syaikh Buthi dalam membela kebenaranlah sehingga ada yang menganggap bahwa beliau adalah duri dalam daging ideologi. Kapasitas ilmunya yang mendunia, kegigihannya membela kaum bermadzhab dan mengkritik kaum takfiriyah, serta keberanian menasihati pemerintah merupakan kemampuan yang sulit dimiliki jamak orang. Oleh karenanya, jalan pintas yang dianggap pantas adalah adalah membunuh.
Beliau syahid saat mengajar di Masjid Iman Damaskus, masjid yang menjadi saksi bisu akan keistiqamahan dan kegigihan sang sufi selama beberapa dekade. Beliau wafat dalam serangan bom bunuh diri. Meskipun banyak kalangan meragukan beliau wafat karena bom. Karena dalam beberapa video yang beredar di dunia maya, diantaranya di you tube, bahwa usai meledaknya bom, beliau masih selamat dan membetulkan penutup kepala (semacam kopyah yang dililit surban).
Kemudian datang seorang dari arah depan beliau yang membelakangi rekaman. Setelah orang itu berpindah, maka baru darah mengucur di pelipis kiri dan mulut. Diduga kuat, lelaki tadi yang membunuh. Hingga saat ini, belum ada pihak yang bertanggungjawab atas serangan bom bunuh diri tersebut dan siapa pelaku pembunuhan juga masih misterius.
Dua minggu sebelum wafat, salah satu murid beliau, Al-Habib Ali-Al-Jufri bercakap-cakap via telephon, seolah telah menerima isyarat, beliau mengakhiri percakapan dengan ungkapan, “Tidak tinggal lagi umur bagiku melainkan beberapa hari yang boleh dikira. Sesungguhnya aku sedang mencium bau surga dari belakang. Jangan lupa wahai saudaraku untuk mendoakanku.” Selamat Jalan sang sufi, selamat jalan sang “ghazali”…
Sumber: Majalah Langitan / Muhammad Hasyim, Muhammad Sholeh, M Umar Faruq 


0 comments

Post a Comment